• Selamat Datang di MAN 2 Lebak | Madrasah Religiopreneur

Jumat, 15 Nov 2024

Penulis: Hasan Basri (Kepala Seksi Ketenagaan PAI pada SMP/SMPLB Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam) Penulis: Hasan Basri (Kepala Seksi Ketenagaan PAI pada SMP/SMPLB Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam)

Guru itu digugu lan ditiru (dipercaya dan dicontoh). Begitu kepanjangan plesetan Bahasa Jawa dalam menjabarkan kata “guru”. Ini merupakan artikulasi sepadan dari posisi guru, tidak saja menjadi sumber pengetahuan terpercaya tetapi juga menjadi suri tauladan (contoh) yang baik.

Hal itu berjalan dengan baik ketika era pendidikan tradisional berlangsung, di mana guru masih menjadi figur sentral dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan sumber pengetahuan utama, bahkan bisa dikatakan satu-satunya. Apalagi jika yang kita bicarakan di sini adalah guru agama, figur guru menjadi panutan atau teladan bagi murid-muridnya.

Namun, dalam era pendidikan agama Islam dewasa ini, terutama setelah munculnya era digital atau yang biasa disebut dengan Era Revolusi Industri 4.0, peran guru telah mengalami pergeseran. Peran guru telah bergeser sebagai fasilitator bagi peserta didik. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, namun lebih berpusat pada peserta didik. Perkembangan terkini dengan kebijakan Merdeka Belajar mempertegas kecenderungan pergeseran peran tersebut. Ini menjadi tantangan pertama bagi guru.

Era digital memungkinkan adanya keterhubungan interpersonal dalam area yang tak terbatas. Tidak saja pada lingkungan sekolah, kota, provinsi, pulau, atau negara tetapi juga dapat melintasi belahan benua yang berbeda. Konektivitas tersebut memudahkan siswa mengakses informasi, pengetahuan, ataupun konten-konten yang terpampang dalam 1,94 miliar situs web dunia. Penyediaan konten-konten mendidik dan metode pembelajaran yang menarik perlu dilakukan oleh guru, terutama guru PAI sebagai pihak pertama yang menjaga moralitas siswa di sekolah.

Tantangan kedua adalah globalisasi yang menyebabkan kompetisi tenaga kerja antarnegara. Globalisasi dalam ranah ekonomi ini merupakan suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional berbagai bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Globalisasi juga merupakan proses kebudayaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik geografis maupun fisik, menjadi seragam dalam format sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Dalam bidang ekonomi, proses global menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran. Sementara globalisasi dikampanyekan sebagai era yang menciptakan pertumbuhan ekonomi secara global, tantangan pendidikan nasional makin menguat dan bertambah dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA menandai berkembangnya arus bebas tenaga kerja terampil lintas negara ASEAN. Dalam konteks ini, profesi guru PAI berada di dalamnya.

Pertanyaannya, jika saatnya sudah tiba dan regulasi telah memungkinkan untuk itu, sudah siapkah GPAI berkompetisi dengan guru asing dalam bidang Pendidikan Agama Islam?

Dalam situasi kemungkinan resiko persaingan demikian, mentalitas guru dalam memaknai profesionalitas juga memiliki masalah tersendiri. Sertifikasi Guru, sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 untuk membentengi kualitas dan kompetensi tenaga pendidik agar mampu berkompetisi dengan tenaga kerja asing, telah mengalami pergeseran dalam pemahaman tujuan dasarnya. Sertifikasi yang dulu berorientasi pada profesionalisme, kini pemahamannya telah tereduksi menjadi welfare oriented, menjadi persoalan kesejahteraan belaka. Kondisi demikian menyebabkan penyimpangan dari tujuan dasar pengembangan pendidikan itu sendiri.

Tantangan ketiga adalah kebutuhan akan generasi yang unggul dan moderat. Dalam pendidikan agama Islam, pendidikan karakter sangat dibutuhkan oleh peserta didik, karena dipahami sebagai wadah atau proses untuk membentuk pribadi yang baik, unggul, dan berkualitas.

Disadari, anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan mencari jadi dirinya rentan terpengaruh hal-hal negatif di luar dirinya. Dalam perspektif psikologi Islam, mereka belumlah merupakan pribadi yang sudah matang (mutafail), tapi pribadi yang masih mencari jati diri (mutasyaim). Dalam konteks ini, munculnya fenomena radikalisme menjadi tantangan tersendiri. Fenomena ini, sebagaimana ditunjukkan berbagai temuan dan studi ilmiah terkait, membayangi aktifitas dan keseharian anak karena konektivitas teknologi informasi sebagaimana terjelaskan sebelumnya.

Tantangan keempat adalah besarnya jumlah penduduk usia muda yang menuntut pola pengajaran yang baru. Guru harus melakukan sejumlah hal agar pola pengajarannya sesuai dengan generasi milenial. Sebagai contoh, pembelajaran harus relevan, spesifik, ringkas, serta cepat, sesuai dengan karakteristik generasi milenial. Pilihan ini menjadi sebuah keharusan, agar PAI tak ditinggalkan oleh generasi yang tengah mempelajarinya.

Dalam perspektif Generation Theory, anak-anak yang sedang mencari jati diri tersebut berada pada stage Millenial. David dan Jonah Stillman (2018) menyatakan bahwa salah satu ciri generasi millenial adalah Fear of Missing Out (FoMo), takut akan ketinggalan informasi. Dengan nalar demikian, bisa jadi mereka akan mencari dan mendapatkan sendiri informasi yang mereka butuhkan, jika guru tidak menyajikan apa yang mereka anggap relevan.

Di sini, guru dihadapkan pada problem-problem lain yang saling berkaitan, misalnya metode pembelajaran yang masih klasikal, minimnya peningkatan SDM dalam diri pendidik, dan kurangnya literasi teknologi. The Worlds Most Literate (WMLN) Tahun 2016 merilis daftar peringkat literasi skala dunia. Penelitian dilakukan oleh Jhon W Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain, yang dilakukan terhadap 61 negara di dunia. Hasil penelitian itu menempatkan Finlandia pada urutan ke-1 tentang literasi skala dunia, sedangkan Indonesia berada di urutan ke-60.

Data dan fakta ilmiah ini menjadi tantangan bersama. Dalam RPJM IV 2020-2024 disebutkan, “meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing” telah menjadi prioritas nasional. Idealitas RPJM dan kenyataan sebagaimana yang ditunjukkan rilis tentang literasi tersebut menunjukkan dengan sendirinya tentang adanya kesenjangan. Menjembatani gap ini tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Problem rendahnya literasi tersebut membutuhkan upaya dan penanganan bersama.

Dengan berbagai macam problematikanya dalam menghadapi tantangan tadi, sejumlah langkah perlu dilakukan. Setidaknya kita perlu mengkaji kembali apakah sertifikasi guru sudah sesuai harapan dan tujuannya. Jika kita tengok UU Nomor 14 Tahun 2005, Tujuan Sertifikasi adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, serta meningkatkan profesionalimse guru.

Singkatnya, perlu adanya reorientasi pemahaman sertifikasi, agar tidak terjebak pada welfare oriented, tetapi lebih jauh untuk mendukung peningkatan profesionalitas pendidik sehingga dapat menjawab tantangan-tantangan kekinian. Tentunya hal ini perlu dibarengi dengan gerakan bersama untuk peduli penguatan dan peningkatan profesionalitas, baik dari keseriusan stakeholder pengawal kebijakan maupun dari guru itu sendiri.

Sejak sertifikasi digulirkan dan diberikan batasan melalui UU Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, sertifikasi merupakan pengakuan negara terhadap status professional bagi guru. Justifikasi tersebut dibarengi dengan adanya perbaikan penghasilan yang cukup signifikan bagi guru, melalui Tunjangan Profesi Guru (TPG).

Akan tetapi, isu yang berkembang dan bahkan menjadi problem yang cukup pelik justru tentang TPG itu sendiri. Kita seolah terlena dan tidak menyadari bahwa problem pendidikan nasional yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana guru dengan profesionalitasnya menjawab tantangan-tantangan tadi. Belum ada upaya yang serius untuk memonitor dan mengevaluasi sertifikasi itu sendiri. Sertifikasi seolah menjadi pengakuan seumur hidup tanpa dibarengi evaluasi terhadap profesionalitas guru setelah mendapatkannya. Ke depan, kita perlu mempertimbangkan adanya kemungkinan peninjauan ulang sertifikasi guru. Langkah ini ditempuh dengan dasar pandangan bahwa sertifikat yang diberikan kepada guru suatu saat bisa ditinjau kembali kelayakannya, berdasar data capaian dan kinerja masing-masing.

Pada akhirnya, dengan posisi strategis dan misi penting yang dimilikinya di era digital, guru PAI jelas memiliki mission sacred yang diembannya. Guru PAI tidak saja bertugas untuk melakukan knowledge transfer sesuai dengan nilai-nilai agama seharusnya dan menjadikan anak pintar serta menciptakan generasi unggul. Lebih dari itu, guru PAI dititahkan untuk membentuk pribadi yang baik, bijaksana, jujur, bertanggung jawab, dan bisa menghormati orang lain.

Penulis: Hasan Basri (Kepala Seksi Ketenagaan PAI pada SMP/SMPLB Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam)

Selayang Pandang Kepala Madrasah

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, kami mengucapkan selamat datang di Website Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Lebak. Website ini sebagai media pembelajaran yang berbasis teknologi informasi.

Jl. Raya Bayah-Cikotok Km. 2,5, Bayah Timur, Kec. Bayah, Kab. Lebak Prov. Banten 42393